Sebuah Alasan Untuk Menulis
Sejak awal penciptannya Tuhan dengan perantara kalam mengajari manusia menulis
dan membaca. Menjadikan manusia satu-satunya makhluk di bumi yang diberi berkah
kemampuan autentik untuk menulis dan mampu menghasilkan karya.
Manusia selalu memutuskan
untuk menulis karena sebuah alasan, entah itu tujuan besar nan mulia untuk mengubah
suatu kondisi seperti Multatuli yang menulis Max Havelaar sebagai kritik akan bengisnya pemerintah kolonial, Pramoedya Ananta Toer yang menulis tetralogi
Pulau Buru kala mendekam di balik dinginnya jeruji besi, serta Kartini yang
menulis surat-surat tentang betapa tertinggalnya perempuan Indonesia. Atau
menulis hanya sekadar untuk memenuhi idealisme dan memuaskan ego belaka. Tak ada
yang salah dengan itu karena terlepas dari apapun tujuannya menulis menjadikan usia
seorang penulis lebih panjang dari usia yang sesungguhnya, menjadikannya abadi.
Ada perasaan tak rela
jika kelak ajal menjemput hanya mewariskan sebuah senyuman dalam bingkai gambar
tanpa dimengerti apa maksud senyumannya, pun isi pikirannya. Yang terkenang hanya
sebuah ingatan lama akan rangkaian peristiwa yang lambat laun akan pudar oleh
waktu dan tergantikan dengan ingatan yang baru. Menulis sejatinya usaha merawat
ingatan, sebuah upaya menolak lupa, senjata bagi mereka yang berusaha mengkikis
ingatan. Buah pikiran yang dibekukan ke dalam sebuah tulisan menjadikan sang
almarhum seolah tetap hidup, lebih hidup dari orang yang masih hidup.
Akan tetapi, pemuda
berusia seperlima abad ini, setelah lama berjibaku dan terjebak dalam benaknya
sendiri akhirnya memutuskan untuk memulai menulis bukan untuk sebuah alasan
yang mulia, bukan pula agar abadi. Namun hanya untuk memaksa punggungnya yang
berbulan-bulan terlampau lekat dengan ranjang ini agar bangkit, setidaknya
menjadi bungkuk diatas kursi kayu yang tak terlalu nyaman itu dan mulai
menghasilkan (yang diklaim oleh dirinya sendiri) sebuah karya yang setidak-tidaknya
dinikmati oleh ego sendiri. Mungkin hanya akan ada rasa malu dan sesal karena tulisan
pertama yang ia tulis hanyalah sebuah sampah omong kosong. Tapi ia percaya
pada pepatah, sedikit demi sedikit lama
lama menjadi bukit. Setidaknya tulisan omong kosongnya bisa menjadi sebuah
bukit sampah yang menurutnya lebih baik dari selembar sampah.
“Peduli setan!,
toh siapa juga yang mau baca tulisanku” umpat pemuda itu. “Semoga bukan
puas diri yang cepat menantiku” imbuhnya.
Comments
Post a Comment